Oleh: Towijaya*
Dunia pendidikan, terutama perguruan tinggi, memiliki peran strategis dalam meningkatkan jumlah dan kualitas relawan di Indonesia pada peringatan International Volunteer Year (IVY) 2025. Dalam ekosistem kerelawanan nasional, kampus disebut sebagai salah satu pilar kunci yang mampu melahirkan generasi relawan terlatih sekaligus memperkuat ketahanan sosial masyarakat, baik nasional maupun internasional.
Selama ini, relawan banyak dikenal lewat kegiatan kemanusiaan atau tanggap bencana. Namun kampus dapat mendorong partisipasi relawan secara lebih sistematis melalui pendidikan karakter, penelitian dan pengabdian masyarakat, serta pembangunan kapasitas mahasiswa.
Perguruan tinggi memiliki sumber daya intelektual dan organisasi yang kuat. Jika dikelola secara terintegrasi, kampus dapat menjadi pusat produksi relawan yang kompeten dan berkelanjutan dengan kualitas relawan tingkat internasional dengan pembekalan bahasa yang baik.
Kampus sebagai Inkubasi Relawan Muda
Dalam sebuah kajian, kampus memiliki tiga keunggulan utama sebagai inkubator relawan muda:
- Populasi usia produktif yang besar, dengan lebih dari 10 juta mahasiswa secara nasional aktif saat ini.
- Struktur organisasi yang teratur, mulai dari UKM, BEM, hingga Pusat Studi.
- Kapasitas pendidikan dan riset yang dapat dihubungkan langsung dengan isu sosial, lingkungan, hingga kemanusiaan.
Banyak perguruan tinggi telah menjalankan kuliah KKN atau community service, namun kontribusinya dinilai masih bisa diperluas. Penulis merekomendasikan agar program pengabdian masyarakat tidak hanya bersifat proyek jangka pendek, tetapi terhubung dengan kebutuhan komunitas dan keberlanjutan relawan di daerah.
Digitalisasi dan Standarisasi Pelatihan
Digitalisasi manajemen relawan kampus sangat diperlukan, seperti platform pemetaan minat, pelatihan daring, dan distribusi relawan ke sektor yang membutuhkan. Sistem ini dinilai mampu meningkatkan efisiensi sekaligus membuka peluang kolaborasi antara kampus, pemerintah daerah, dan lembaga sosial.
Di sisi lain, standarisasi pelatihan menjadi perhatian penting, Kampus harus memastikan relawan memiliki kompetensi dasar- mulai dari komunikasi publik, literasi digital, hingga penanganan bencana.
Beberapa universitas telah memulai langkah ini, seperti membuka volunteer center, memasukkan kerelawanan dalam student development, atau menjalin kemitraan dengan BNPB, PMI, dan lembaga filantropi.
Integrasi Kerelawanan ke Kebijakan Kampus
Agar relawan kampus benar-benar berdampak, kerelawanan harus menjadi bagian dari kebijakan institusi, bukan sekadar aktivitas mahasiswa. Integrasi tersebut dapat dilakukan melalui:
- Pengakuan SKS untuk aktivitas kerelawanan
- Kurikulum berbasis service-learning
- Penguatan riset dan publikasi terkait pemberdayaan komunitas
- Insentif bagi dosen pembina kegiatan sosial
Langkah ini dapat meningkatkan jumlah relawan terlatih secara signifikan dalam dua tahun ke depan.
Jawa Tengah Menyongsong IVY 2025
Dengan IVY 2025 semakin dekat, kampus dipandang memiliki peluang besar untuk menjadi pusat gerakan kerelawanan nasional. Selain menghasilkan relawan, kampus juga mampu memperluas jejaring sosial, mendorong inovasi pengabdian masyarakat, dan menguatkan modal sosial bangsa.
Jika setiap kampus mampu menyiapkan sistem kerelawanan yang terstruktur, Indonesia tidak hanya siap menghadapi IVY 2025, tetapi juga memiliki fondasi kuat untuk ketahanan sosial jangka panjang.
Dengan jumlah kisaran 700 ribu mahasiswa aktif di Jawa Tengah, kampus memiliki modal sosial yang sangat kuat untuk memperkuat pembangunan daerah. Relawan mahasiswa selama ini telah banyak terlibat dalam penanganan bencana di wilayah rawan seperti Semarang, Kudus, Klaten, Pati, Banyumas dan Pekalongan. Namun kontribusi ini dinilai masih dapat ditingkatkan melalui sistem pelatihan dan koordinasi yang lebih terstruktur.
Relawan mahasiswa sangat cepat turun ke lapangan saat banjir, tanah longsor, atau erupsi merapi. Tetapi mereka membutuhkan standar pelatihan yang seragam agar dapat bekerja lebih aman dan efektif.
Penulis merekomendasikan pembentukan Jawa Tengah Volunteer Center berbasis kampus, integrasi relawan ke dalam KKN tematik kebencanaan, serta penyusunan platform digital untuk memetakan kebutuhan relawan di tingkat kabupaten/kota.
Sejumlah kampus seperti UNDIP, UNS, Unnes, UIN Walisongo, dan banyak Universitas Muhammadiyah disebut telah memiliki unit kerelawanan aktif, namun dinilai perlu memperluas kemitraan dengan BPBD Jateng, PMI, dan organisasi kebencanaan lokal.
Jawa Tengah memiliki tantangan bencana yang tinggi, keterlibatan kampus dapat menjadi faktor penentu penguatan kesiapsiagaan masyarakat. Dari Jawa Tengah ini dapat menjadi role model untuk mewujudkan pembangunan ekonomi dan sosial internasional. Contoh nyata Pembangunan Internasional adalah SAVE PALESTINE !.***
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan (UMPP)








