Oleh: Towijaya*
Setiap 5 Desember, dunia memperingati Hari Tanah Sedunia. Bagi sebagian orang, peringatan ini mungkin terdengar abstrak. Namun bagi negara seperti Indonesia—yang pangan, ekonomi, dan kehidupannya sangat bergantung pada tanah—momen ini bukan sekadar seremoni. Ini adalah peringatan bahwa keberadaan pangan di meja makan ditentukan oleh sesuatu yang sering kita lupakan yaitu kesehatan tanah.
Fakta bahwa 95 persen pangan dunia tumbuh dari tanah. Tanah bukan hanya media fisik, melainkan ekosistem hidup yang kompleks, dihuni miliaran mikroorganisme yang memastikan tanaman dapat tumbuh. Ketika tanah sehat, pertanian dapat berjalan berkelanjutan tanpa bergantung pada input kimia berlebih. Ketika tanah rusak, seluruh mata rantai pangan ikut runtuh.
Kini dunia menghadapi kenyataan pahit: sepertiga tanah subur telah terdegradasi. Dalam konteks Indonesia, degradasi tanah dipicu oleh erosi, penggunaan pupuk kimia yang tak terkendali, pencemaran, dan alih fungsi lahan yang terus meluas. Lahan sawah kita menyusut setiap tahun, sementara kebutuhan pangan meningkat seiring pertumbuhan penduduk.
Ironisnya, tanah—sumber kehidupan—adalah elemen paling terabaikan dalam diskusi ketahanan pangan. Pemerintah sering memprioritaskan perbaikan irigasi, distribusi pupuk, atau stabilisasi harga pangan. Semua itu penting, tetapi tanpa tanah yang sehat, upaya tersebut seperti menambal perahu bocor dengan pita perekat.
Kesehatan tanah menentukan tiga hal utama: produktivitas, ketahanan terhadap iklim ekstrem, dan keamanan pangan. Tanah yang kaya bahan organik mampu menyimpan air lebih baik dan menjadi benteng alami terhadap banjir maupun kekeringan. Tanah yang terawat juga berperan sebagai penyaring polutan sehingga pangan yang dihasilkan aman dikonsumsi.
Apa yang harus dilakukan Indonesia?
Pertama, memperkuat regenerasi tanah. Pertanian regeneratif—menggunakan pupuk organik, rotasi tanaman, agroforestri, dan tanaman penutup tanah—terbukti meningkatkan hasil panen sekaligus menurunkan biaya produksi. Ini bukan teknologi rumit, melainkan kembali ke prinsip dasar merawat tanah.
Kedua, mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia. Pupuk memang menaikkan hasil dalam jangka pendek, tetapi penggunaan berlebihan membunuh mikroorganisme bermanfaat dan menurunkan kesuburan jangka panjang. Pemerintah daerah sampai desa perlu mendorong produksi kompos lokal dan biofertilizer.
Ketiga, memperkuat peran kampus dan riset tanah. Banyak inovasi pertanian presisi, biologi tanah, hingga pemetaan kesuburan lahir di kampus, tetapi adopsinya oleh petani masih rendah. Kolaborasi perguruan tinggi—petani—pemerintah harus diperkuat.
Keempat, memperbaiki kebijakan perlindungan tanah. Lahan pertanian produktif tidak boleh terus-menerus dikonversi. Setiap hektare sawah yang hilang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dipulihkan.
Hari Tanah Sedunia mengingatkan kita bahwa ketahanan pangan bukan hanya persoalan produksi, tetapi tentang keberlanjutan. Tanpa tanah sehat, Indonesia akan menghadapi tantangan pangan yang lebih besar, terutama dalam era perubahan iklim.
Menjaga tanah adalah menjaga hidup. Dan menjaga tanah dimulai dari kesadaran kolektif bahwa tanah bukan sekadar sumber daya, melainkan warisan yang harus kita lindungi !.***
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Pekanangan Pekalongan (UMPP)








