Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Tinggi
Oleh : Septian Febrianto
Kekerasan seksual adalah tindakan merendahkan, mempermalukan, melecehkan, menyerang tubuh atau fungsi reproduksi seseorang karena relasi kuasa/gender yang tidak setara. Kekerasan seksual dapat menyebabkan penderitaan psikologis atau fisik, dan termasuk tindakan yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang serta dapat menghilangkan kesempatan mereka untuk mengejar pendidikan dengan cara yang aman dan efektif. Siapapun dapat mengalami kekerasan seksual, terlepas dari apakah mereka korban atau pelaku. Ada banyak elemen internal dan eksternal yang dapat menyebabkan kekerasan seksual. Contoh penyebab dari faktor internal seperti pola asuh orang tua, masalah keluarga, dan kelainan bawaan (hypersex). Sementara faktor lingkungan, variabel yang berkaitan dengan pergaulan bebas, dan masalah yang berkaitan dengan teknologi dan komunikasi adalah contoh penyebab eksternal dari kekerasan seksual. Secara umum, perempuan sering menjadi korban kekerasan seksual. Namun, ada beberapa kasus yang jarang terjadi dimana sebaliknya pria yang menjadi korban. Salah satu dari sekian banyak penyebab kekerasan seksual terhadap wanita ialah karena sikap dan penampilannya, wanita dapat dengan mudah membangkitkan libido pria. Oleh karena itu, setiap wanita harus menjaga sikap dan penampilan yang dapat menarik perhatian pria dimanapun dan kapanpun mereka berada. Namun, pria yang memiliki penyakit hypersex juga dapat melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap wanita. Orang yang mengalami penyakit seksual ini seringkali kesulitan untuk mengelola gairah, fantasi, dan kecanduan mereka. Hyperseksualitas seringkali memengaruhi kehidupan sosial, karir, dan kesehatan seseorang.
Peraturan tentang penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi dan pencegahannya telah dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dalam rangka menjamin pemenuhan hak dasar setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan, tindakan ini merupakan wujud komitmen kuat Kementerian untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan pendidikan Indonesia. Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tujuan pembangunan berkelanjutan terkait pendidikan dan kesetaraan gender diwujudkan dengan memastikan upaya penghapusan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tanpa membatasi akses dan keberlangsungan pendidikan bagi warga negara. Bahkan kekerasan seksual terus terjadi di luar kendali kita dan tidak dilaporkan di media. Dimanapun, terutama dalam konteks pendidikan, rentan terhadap kekerasan seksual. Adanya budaya pemerkosaan, relasi kuasa dan gender yang tidak setara, kurangnya dukungan dan kepedulian terhadap korban, serta kerangka hukum kampus yang belum lengkap, semuanya berdampak pada kekerasan seksual. Karena ada 281 kasus yang tercatat pada tahun 2019 dan 659 kasus dalam sepuluh bulan terakhir tahun 2022, kasus-kasus kekerasan seksual ini seperti fenomena gunung es. Laporan resmi yang diterima meningkat lebih dari 40% selama pandemi. Hal ini dikarenakan kasus-kasus kekerasan seksual seringkali tidak diselidiki secara menyeluruh oleh polisi, dan korban kekerasan seksual mungkin ragu untuk mengajukan pengaduan hukum. Hal tersebut dikarenakan adanya stigma negatif dari masyarakat sekitar bahwa korban kekerasan seksual merupakan aib bagi keluarga.
Dengan banyaknya kejadian yang dilaporkan di media sosial, kekerasan seksual baru-baru ini menjadi lebih umum di masyarakat. Media sosial telah berkembang menjadi alat untuk membantu para korban kekerasan seksual sehingga mereka dapat segera ditangani oleh pihak berwenang. Berbagai gerakan tagar telah muncul untuk mengekspos insiden pelecehan seksual yang terjadi. Pelecehan seksual merupakan salah satu perilaku yang menurut hukum bertentangan dengan hak asasi manusia. Pasal 289 hingga 296 KUHP atau Pasal 414 hingga 422 UU 1/2023 telah mengatur hal tersebut dengan tetap memperhatikan ketentuan unsur-unsur penyebab dari masing-masing tindak pidana. Penanganan yang menyeluruh terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan seksual ini juga diperlukan. Selain menjatuhkan sanksi sosial kepada para pelaku, beberapa universitas, termasuk UNPAD, UNDIP, UI, dan IPB, telah membuat database yang menampilkan foto dan informasi pribadi para predator kepada masyarakat luas dan menyebarluaskannya melalui poster, media massa, dan media sosial. Kemudian, jika predator menunjukkan perilaku yang mencurigakan atau mengkhawatirkan, maka segera mengeluarkan pengumuman publik (atau memorandum publik) dengan nomor hotline yang dapat dihubungi oleh masyarakat. Oleh karena itu, jika tidak memungkinkan untuk memenjarakan predator tanpa batas waktu, setidaknya upaya perlindungan masyarakat dapat ditingkatkan. Diperlukan strategi multi-aspek untuk mencegah kekerasan seksual. Salah satunya adalah pendekatan yang berpusat pada diri sendiri. Bersikap tegas, menghindari situasi berisiko seperti bepergian sendirian atau dalam pengaruh alkohol maupun obat-obatan, bertanggung jawab terhadap seksualitas diri sendiri, mengedukasi diri sendiri mengenai berbagai isu, dan tidak mudah percaya pada orang yang baru dikenal adalah beberapa cara untuk mencegah kekerasan seksual. Solusi lain termasuk menghindari berpakaian seksi dan terbuka, bergaul di lingkungan pergaulan bebas, dan tidak melihat konten yang mengandung unsur kekerasan seksual.
Bahwasanya korban juga berperan dalam kejadian kekerasan seksual, sehingga tidak hanya diakibatkan oleh tindakan pelaku. Dalam kekerasan seksual ini tidak ada perbedaan usia atau jenis kelamin. Semua orang dapat terlibat, baik sebagai pelaku maupun korban. Tindakan fisik atau verbal yang mencoba memaksa atau membujuk orang lain untuk terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak diinginkan adalah contoh kekerasan seksual. Terdapat alasan internal dan eksternal yang dapat menyebabkan kekerasan seksual. Hal ini masih sering terjadi oleh para korban pelecehan seksual yang masih enggan melaporkan pengalaman mereka karena khawatir akan stigma masyarakat yang menganggap kekerasan seksual sebagai aib keluarga, serta kepolisian yang sering gagal menyelidiki kasus kekerasan seksual secara menyeluruh. Namun, strategi yang berpusat pada diri sendiri seperti memperbaiki gaya berpakaian dan perilaku, serta peka terhadap lingkungan sekitar, dapat membantu kita menghindari kekerasan seksual. (Septian Febrianto)