MENJAMURNYA cafe yang menyediakan aneka minuman kopi ‘mahal’ di Pekalongan saat ini, tidak berkorelasi dengan petani kopi, khususnya petani kopi di Petungkriyono. Wilayah paling Selatan Kota Santri ini, beberapa tahun terakhir, para petani kopinya ramai-ramai membabat tanaman kopi dan menggantinya dengan tanaman kapulaga.
Menurut Cahyono, warga Desa Kayupuring, harga kopi mentah saat ini di Petungkriyono berkisar Rp 5 ribu, hingga Rp 7 ribu untuk jenis Robusta dan Rp 10 ribu untuk Arabica. Padahal tahun 2019, harga kopi mentah di Petungkriyono mencapai Rp 22 ribu.
Berbeda dengan kapulaga yang harga ditingkat petani mencapai Rp 35 ribu (basah), sebelumnya Rp 45 ribu. Kapulaga kering dijual petani seharga Rp 200 ribu perkilonya.
Keengganan petani kopi Petungkriyono untuk mempertahankan tanamannya, menurut Cahyono karena harga kopi lokal yang semakin turun. Harga jual green beans (kopi mentah) tidak mampu menutup biaya yang dikeluarkan oleh petani. “Pemetikan sudah susah payah, kalo harga gak maksimal, jadi males memelihara kopi.” Tutur Cahyono saat dihubungi.
Keengganan para petani menanam kopi ini, menurut Cahyono, di pedukuhannya, seluruh tanaman kopi sudah dibabat. Digantikan dengan tanaman kapulaga yang lebih menjanjikan harga jualnya.
KPH Perhutani wilayah Doro, Suyanto, saat diwawancarai oleh seorang peneliti dari sebuah kampus universitas negeri di Bogor beberapa waktu lalu, mengungkapkan bahwa banyak petani kopi di Petungkriyono yang mulai beralih ke kapulaga, lantaran harga kopi mentah yang terus jatuh tiga tahun terakhir ini.
Masalah lainnya, yakni usia pohon kopi yang sudah tua, dan kurang produktif. Tanaman kopi produktif ini maksimal berusia 8-10 tahun. Beberapa pihak telah melakukan regenerasi tanaman kopi ini, dan hasilnya bisa dinikmati empat tahun kemudian.
Saat ini, lebih dari 25 cafe yang menyediakan kopi premium di Kabupaten Pekalongan. Pertumbuhan cafe kopi ini bak jamur dimusim hujan. Jika pada 2019 hanya satu-dua kita jumpai. Di Kedungwuni, cafe kopi ini berjejer dengan jarak kurang dari 50 meter, sepanjang Pekajangan hingga Kedungwuni. Hal yang sama, ditiap kecamatan dengan mudah dijumpai cafe yang menyediakan kopi premium, dari kelas mewah, hingga kelas kaki lima.
Jika melihat tren pertumbuhan ‘bakul kopi’ di Pekalongan, harusnya para petani kopi ditingkat lokal, waktu-waktu seperti ini, saat nya memanen hasil, ditengah menjamurnya cafe. Tapi sebaliknya. Harga kopi malah jatuh, meski sebagian besar petani kopi telah membabat tanamannya dan mengganti dengan tanaman lain.
Saya jadi teringat dengan obrolan dengan penggiat kopi di Yogyakarta. Sekira tahun 2018, saat penulis menjadi relawan pada gelaran Jagongan Media Rakyat (JMR). Sebuah perhelatan penggiat komunitas nasional dua tahunan sejak 2012.
Dalam sebuah obrolan para penikmat kopi. Rekan asal Jogja, yang juga penggiat dan pemilik kopi, mengungkapkan bahwa sekira tahun 2017 para penggiat kopi Jogja pernah melakukan pemberdayaan petani kopi di Pemalang dan Pekalongan.
Model kemitraan saling menguntungkan, para petani diberi bekal teknik menanam kopi berkualitas, memanen dan memproses (memilah) biji kopi yang bagus dan afkiran, roasting hingga pengemasan dan pemasarannya. Polanya, petani melakukan proses sejak awal hingga roasting dengan kualitas bagus. Komunitas kopi kemudian membelinya dengan harga diatas harga jual lokal (harga lebih tinggi) sesuai dengan kesepakatan.
Permasalahannya, masih menurut rekan saya, kebanyakan petani yang didampingi menolak untuk ‘hanya’ memproduksi dan menjual kopi berkualitas. Mereka maunya seluruh produk kopi yang dihasilkan oleh petani dibeli. Keinginan petani dan penggiat kopi ini tidak ada titik temu, kemitraan berakhir tanpa kejelasan.
Adanya keengganan dari para petani kopi inilah, menjadi penyebab, penikmat kopi tidak mendapatkan rasa kopi yang diinginkan. Bakul kopi yang menjamur di Pekalongan, memilih menyediakan kopi daerah lain, meski beberapa cafe dan kedai kopi menyediakan kopi lokal Pekalongan.
Kini saat marak petani kopi lokal Pekalongan membabat tanamannya dan mengganti dengan tanaman lain yang lebih menjanjikan. Bukan tidak mungkin terjadi, kopi lokal Kota Santri akan punah. Diperlukan effort yang lebih seluruh pemangku kepentingan untuk kembali memberdayakan petani kopi lokal. Melakukan pendampingan petani dari hulu hingga hilir, ditengah mudahnya penikmat kopi mendapatkan sruputan secangkir kebersamaan, dengan hanya tinggal klik gawainya. (Buono)