Semarang – Wartadesa. Masih ingatkah Anda dengan pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah? Kita pasti pernah menjumpai bacaan sepanjang 3-5 paragraf yang diikuti beberapa pertanyaan mengenai teks bacaan tersebut. Teks bacaan inilah kiranya yang membuat naskah soal ujian bahasa Indonesia menjadi lebih tebal dari mata pelajaran lain.
Ide pokok paragraf, jenis paragraf induktif, deduktif, atau naratif menjadi hal yang umum ditanyakan. Pertanyaan juga dapat berupa detil kecil seperti warna mata tokoh utama atau jumlah karakter yang muncul pada cerita. Tidak jarang pula hal-hal tersirat ditanyakan, seperti nasihat dalam cerita atau pertanyaan sibjektif seperti kesan yang ditimbulkan oleh bacaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seringkali membuat mata kita terpaksa menyisir kembali teks bacaan untuk mencari tahu jawabannya.
Oleh karena itu, membaca efektif diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dalam sekali baca, siswa hendaknya dapat mengerti inti dari masing-masing paragraf dan menganalisis korelasinya satu sama lain. Dengan begitu informasi yang diperoleh dari bacaan akan terserap lebih baik, sehingga menjawab pertanyaan akan lebih mudah dan hemat waktu. Kebiasaan membaca efektif dapat mengoptimalkan informasi yang masuk ke dalam otak.
Namun pernahkah kita berpikir, apa gunanya membaca teks dan menjawab pertanyaan seperti itu dalam kehidupan setelah sekolah? Ternyata hal tersebut terasa sangat penting di era informasi digital seperti saat ini. Beragam informasi tekstual dapat diakses dengan mudah melalui gadget. Informasi seperti berita terkini atau tips-tips menarik dan resep masakan seringkali menuntut kita untuk memperhatikan detil teks.

Jika kita melihat lebih teliti pada jejaring sosial, ada fenomena yang cukup menarik untuk diperhatikan. Pada unggahan dalam Facebook atau instagram, seringkali informan sudah menuliskan detail pada caption foto. Namun lucunya, masih ada yang menanyakan sesuatu yang sudah dituliskan secara gamblang pada teks. Tidak jarang hal ini membuat informan marah, sebab tulisan yang susah payah dibuatnya seakan tidak diperhatikan. Terkadang informan menegur secara langsung pembaca seperti ini, dan lebih buruknya lagi kejadian berujung pada bullying. Sebab, orang tersebut dianggap bodoh dan terkesan cari perhatian.
Seharusnya, dengan terus mengaplikasikan membaca efektif seperti yang sudah dipelajari di sekolah, pertanyaan-pertanyaan repetitif dan cenderung tidak perlu itu dapat dihindari. Tentu saja bukan hanya bacaan panjang saja, keterangan pada kemasan produk pun harus dibaca dan dipahami untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, kesalahan dalam cara menggunakan kosmetik yang seharusnya untuk telapak kaki malah dioles di wajah, kemudian timbul jerawat. Membaca kemasan produk selama satu atau dua menit dapat menyelamatkan kita dari kecelakaan atau terbuangnya produk dengan percuma.
Bertanya, mengoreksi, mendebat memang cerminan dari pembaca kritis. Namun menanyakan hal yang sudah gamblang diutarakan pada bacaan sama sekali tidak kritis. Jika kita dapat lulus dengan nilai baik pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka seharusnya tidak sulit bagi kita untuk memahami bacaan sebelum melontarkan pertanyaan. Ada baiknya ilmu membaca ini terus diasah, supaya ilmu yang kita peroleh ini tidak menguap begitu saja selepas meninggalkan bangku sekolah. (Miranda)