Warta Desa, Pekalongan — Skema pengadaan barang/jasa pemerintah melalui swakelola kembali menjadi sorotan publik. Empat tipe swakelola yang diatur dalam Perpres Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dinilai rawan disalahgunakan, mulai dari manipulasi data, penggelembungan biaya, hingga potensi kolusi dan penyunatan anggaran.
Swakelola sendiri merupakan mekanisme pengadaan di mana kegiatan direncanakan, dilaksanakan, dan diawasi oleh pemerintah ataupun masyarakat tanpa proses lelang penyedia jasa eksternal. Model ini dibagi menjadi empat tipe: Tipe I, II, III, dan IV — masing-masing dengan karakteristik teknis dan kelembagaan berbeda.
Swakelola Tipe I: Dilaksanakan Internal Instansi Pemerintah
Pada skema ini, seluruh proses mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan dilakukan langsung oleh kementerian/lembaga/perangkat daerah. Biasanya untuk kegiatan yang sesuai tugas pokok instansi, seperti bimbingan teknis, sosialisasi, pengembangan sistem internal, atau pekerjaan fisik sederhana.
Tahapan swakelola Tipe I meliputi:
- Perencanaan kegiatan dan anggaran
- Persiapan teknis
- Pelaksanaan oleh tim internal
- Pengawasan administratif dan teknis
- Serah terima hasil pekerjaan
Sorotan:
Swakelola Tipe I kerap diduga digunakan untuk menyembunyikan kegiatan fiktif, duplikasi program, dan penggelembungan anggaran, lantaran seluruh proses berada dalam kendali satu instansi tanpa keterlibatan pihak luar.
Swakelola Tipe II: Dilaksanakan Instansi Pemerintah Lain
Berbeda dengan Tipe I, pada Tipe II pelaksana kegiatan adalah instansi pemerintah lain yang lebih kompeten, misalnya kerjasama Bappeda dengan BPS atau perguruan tinggi negeri untuk riset dan pengujian.
Alur pelaksanaan:
- Instansi pemilik anggaran menyusun rencana dan mengawasi
- Instansi pelaksana menjalankan kegiatan
- Pengawasan dan serah terima dilakukan oleh pemberi anggaran
Sorotan:
Modus yang kerap disorot adalah pengalihan pelaksanaan proyek ke pihak ketiga non-resmi atau konsultan “titipan”, serta mark-up anggaran atas nama kerjasama antarinstansi.
Swakelola Tipe III: Dilaksanakan Organisasi Masyarakat
Pada tipe ini, pemerintah merencanakan dan mengawasi, sementara pelaksanaan dikerjakan organisasi masyarakat (ormas) yang memiliki kompetensi di bidang terkait.
Tiga tim dibentuk:
- Tim persiapan dari pemerintah
- Tim pelaksana dari ormas
- Tim pengawas dari pemerintah
Sorotan:
Swakelola Tipe III rawan kolusi dengan ormas, penunjukan organisasi tanpa seleksi objektif, hingga potensi ketidaktransparanan pelaporan kegiatan.
Swakelola Tipe IV: Dilaksanakan Kelompok Masyarakat
Model ini melibatkan kelompok masyarakat sebagai pelaksana penuh, mulai perencanaan teknis hingga pengawasan, sementara pemerintah memberi dana dan pendampingan. Biasanya digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat seperti pembangunan jalan desa, irigasi, atau rumah tidak layak huni.
Sorotan:
Skema ini sering dipantau ketat karena dugaan penyunatan dana masyarakat oleh oknum PPK atau pendamping, serta pemaksaan kelompok tertentu sebagai pelaksana.
Swakelola Disorot: Manipulasi hingga Penyimpangan Anggaran
Beberapa pemerhati kebijakan publik menilai bahwa penyimpangan paling sering terjadi pada Tipe I dan II, terutama dalam:
- manipulasi data,
- duplikasi kegiatan,
- penggelembungan anggaran baik pada perencanaan maupun realisasi.
Sementara Tipe III dan IV dicurigai rawan praktik kolutif antara aparat dan pelaksana lapangan, termasuk pemotongan dana kegiatan yang seharusnya diterima kelompok masyarakat secara penuh.
Swakelola adalah instrumen strategis untuk efisiensi dan pemberdayaan masyarakat. Namun tanpa pengawasan ketat, sangat rentan dijadikan pintu kebocoran keuangan negara,” ujar salah satu aktivis antikorupsi di Pekalongan.
Penguatan Transparansi dan Pengawasan
Pakar kebijakan publik menekankan perlunya audit menyeluruh berbasis output, transparansi daftar kegiatan swakelola, pelaporan digital terbuka, dan keterlibatan publik.
Pengawasan melekat dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) juga dinilai harus ditingkatkan, termasuk pengawasan lapangan dan pembuktian manfaat kegiatan.
“Kalau pemerintah serius meningkatkan kualitas layanan, swakelola bisa menjadi solusi. Tapi kalau dipakai untuk bancakan anggaran, pasti merugikan masyarakat,” tambahnya.
Swakelola merupakan instrumen strategis dalam belanja negara. Namun, tanpa pengawasan ketat dan komitmen integritas, mekanisme ini berpotensi membuka ruang korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merugikan publik. (Agung Dwi Wicaksono)










