close
Opini

Indonesia Gudangnya Pejuang ‘Ber-Cosplay’ Robin Hood

septiandi

Refleksi Hari Wayang Sedunia dan Hari Pahlawan: Merayakan Kepahlawanan di Garis Senyap

Oleh: R.Kurniawan Dwi Septiady, SIP.MM 

Hari Pahlawan dari tahun ketahun kita peringati dengan mayoritas mengenang kembali bagaimana Bung Tomo membakar semangat para pemuda Surabaya untuk melawan agresi militer penjajah, namun jarang kita mengingat kembali bagaimana kepahlawanan disekitar kita. Dengan momen yang berdekatan dengan hari wayang sedunia sebagai penulis saya mencoba mensintesakan kedua peringatan kepahlawanan dan asset budaya tersebut kedalam sebuah refleksi. Hari Pahlawan dan Hari Wayang Sedunia mengingatkan kita pada dua spektrum narasi: perjuangan yang terang benderang dan kisah-kisah di balik layar yang sering terabaikan. Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, citra pahlawan kerap diasosiasikan dengan seragam militer, pekik takbir jihad, dan keberanian di medan tempur terbuka. Namun, di balik laskar-laskar “bersinar terang” seperti Hizbullah, Sabilillah, TKR, dan Angkatan Umat Islam (AUI), tersimpan “gudang” pejuang yang memilih jalan sunyi, bahkan menanggung stigma, mirip Robin Hood atau bahkan tokoh-tokoh non-protagonis penting bagi kita merenungkan bahwa perjuangan kemerdekaan di Indonesia tidak sekadar milik tokoh besar yang secara resmi tercatat dalam buku sejarah, tetapi juga melibatkan figur–figur lokal, pasukan bawah tanah, dan strategi yang “di luar dialektika” resmi. Di wilayah Karesidenan Pekalongan misalnya, muncul kisah pejuang yang tampak seperti “Robin Hood” — yakni mengambil jalan yang tak lazim, mencuri dari penjajah, membalik relasi kekuasaan, dan memberi harapan pada orang-lemah (meskipun secara literal tidak selalu seperti Robin Hood Inggris).

Analogi ini kita gunakan untuk memahami gambaran perjuangan: seorang pahlawan yang muncul bukan dalam wujud konvensional kesatria-terhormat, tetapi dalam wujud yang lebih bayangan, gerilya, dalam kegelapan, “bercosplay” sebagai Robin Hood—mengambil dari mereka yang punya, memberi kepada mereka yang tertindas, dengan cara yang tidak baku. Selanjutnya kita akan membedah tiga elemen: (1) konteks lokal Karesidenan Pekalongan; (2) kisah Lasmini dan cerpen – karya Gati Andoko; (3) strategi dan pasukan yang dibentuk oleh Moestopo, dan bagaimana semua ini bisa kita baca sebagai metafora perjuangan kemerdekaan yang unik.

Konteks Lokal Karesidenan Pekalongan

Wilayah Karesidenan Pekalongan pada masa revolusi kemerdekaan mengalami dinamika serius. Sebagai wilayah administratif zaman Hindia Belanda, Karesidenan Pekalongan mencakup beberapa kabupaten dan kota. Pada tanggal 3 Oktober 1945, rakyat Pekalongan mengangkat senjata melawan Jepang, dan pada 7 Oktober 1945 Kota Pekalongan dibebaskan dari tentara Jepang.  Kemudian pada masa agresi militer Belanda (1947–1949), wilayah selatan Karesidenan Pekalongan, termasuk area Lebakbarang, menjadi lokasi pengungsian dan pemberontakan rakyat. “Pertempuran di Lebakbarang pada tahun 1947 menjadikan daerah bagian selatan Karesidenan Pekalongan porak poranda. Banyak warga yang mengungsi ke segala tempat yang aman.” Jurnal Bebasan+1 Dalam situasi ini, perjuangan tak selalu dalam bentuk barisan reguler. Ada pula pemerintahan darurat yang dibentuk untuk menjaga wilayah agar tidak tercerai-berai. Harapan RakyatMaka, dari konteks ini, kita bisa melihat munculnya pahlawan lokal yang tak mutlak tercatat dalam buku besar, tetapi dalam narasi rakyat—layaknya “cosplay Robin Hood”.

Kisah Lasmini, Jihad Dibalik Stigma Ronggeng Lebakbarang,

Cerpen Lasmini: Ronggeng Lebakbarang karya Gati Andoko menghadirkan tokoh Lasmini — seorang ronggeng di Lebakbarang (wilayah selatan Pekalongan) — yang kemudian “masuk” dalam perjuangan melawan Belanda sebagai mata-mata, anggota pasukan rahasia. Jurnal Bebasan Dalam narasi itu, Lasmini adalah figur yang bukan pahlawan konvensional (kesatria berpakaian rapi), melainkan perempuan ronggeng — yang secara sosial terpinggir — yang kemudian justru menjadi bagian dari strategi perjuangan. Di sini ia “bercosplay” sebagai Robin Hood: dari sisi sosial dianggap korban atau terpinggir, tetapi masuk ke ruang kekuasaan dan pengambilan informasi dari penjajah.

Cerpen tersebut menunjukkan bahwa keberadaan tokoh seperti Lasmini menghadirkan “delegitimasi dan intervensi terhadap logos sejarah”. Jurnal Bebasan+1 Artinya: kisah-kisah yang tidak mainstream juga punya peran penting dalam narasi kemerdekaan lokal. Dengan demikian, kisah Lasmini memunculkan dua gagasan penting: (1) pahlawan bisa berasal dari ranah yang “tak terhormat” tetapi kemudian berjuang; (2) strategi perjuangan bisa bersifat tersembunyi, tak dalam barisan terbuka tapi dalam kegelapan, pengintaian, informas

“Pasukan Moestopo” Legiun Para Antagonis

Dr. Moestopo dalam perjuangan di Kebumen, terutama upayanya mencegah pasukan Belanda mencapai Yogyakarta. Moestopo, seorang dokter gigi dan tokoh militer, memiliki keunikan yang jauh dari citra laskar konvensional. Ia mendirikan Pasukan Terate, yang ironisnya, dibentuk melalui rehabilitasi para pencopet, pelacur, dan penjahat.

Alih-alih merekrut pemuda idealis dari pesantren atau sekolah militer, Moestopo melihat potensi patriotisme dan keterampilan tersembunyi dalam diri mereka yang terpinggirkan. Para mantan bromocorah dan kupu-kupu malam ini diubah menjadi agen intelijen andal yang beroperasi secara diam-diam dalam kegelapan. Mereka sukses menjebol informasi rahasia intelejen Belanda dan melakukan sabotase logistik, hal yang mustahil dilakukan oleh laskar bersinar terang yang gerakannya mudah terdeteksi. Upaya Dr. Moestopo ini adalah Reklasering Patriotik, membuktikan bahwa semangat kemerdekaan tidak mengenal latar belakang sosial atau catatan kriminal. Patriotisme diwujudkan melalui utilitas strategis yang memanfaatkan “keterampilan gelap” mereka untuk tujuan negara. Mereka adalah pahlawan tanpa mahkota yang kehadirannya diakui bukan karena kesucian, melainkan karena efektivitas perjuangannya.

Moestopo (1913-1986) adalah dokter gigi yang kemudian menjadi pejuang kemerdekaan dan mendirikan institusi setelahnya. Yang menarik adalah strategi militer inovatif dan tak lazim yang dipakainya selama revolusi. Salah satu catatan menyebut bahwa ia membentuk pasukan bernama Pasukan Terate — akronim dari Tentara Rahasia Tinggi — yang diisi oleh pencopet, pelacur, bahkan penjahat, yang kemudian direklasifikasi menjadi pejuang.

  • Pasukan Terate ditugaskan mencegah gerak maju tentara Belanda di daerah Kebumen dan Gombong
  • Pasukan itu melakukan sabotase malam hari, menyusup ke garis musuh, mencuri senjata, logistik, bahkan menerapkan metode perang rahasia (“secret war”). Djokjakarta 1945+1
  • Moestopo sendiri dikenal sebagai “nyentrik” — misalnya memberi instruksi makan daging kucing agar penglihatan malam meningkat, atau bambu runcing dioles kotoran kuda agar musuh terkena tetanus. tirto.id

Dari sini kita melihat aspek yang sangat cocok dengan metafora “Robin Hood”: pasukan yang mungkin awalnya dianggap kriminal, namun diberi makna baru untuk perjuangan, mengambil dari “musuh” kekuatan mereka, dan menggunakan cara-cara di luar konvensi perang formal. Dalam lingkungan lokal seperti Kebumen (yang berada di daerah eks Karesidenan Pekalongan / sekitar Jawa Tengah) atau front yang menuju Yogyakarta, pasukan ini beroperasi dalam kegelapan, gerilya, dengan elemen rahasia intelijen.

Hal ini mengingatkan bahwa perjuangan kemerdekaan tidak melulu tentang tembak-menembak di lapangan terbuka, tetapi juga tentang intelijen, sabotase, infiltrasi—dan aktor yang tak lazim menjadi pahlawan dalam bayangan.

Refleksi Wayang: Kebajikan Sang Antagonis

Kisah-kisah ini, Lasmini dan Pasukan Moestopo, memiliki kemiripan dengan epos Ramayana, khususnya peran tokoh non-protagonis seperti Rahwana dan Kumbakarna. Rahwana, meskipun dicap sebagai antagonis karena penculikan Shinta, tetap menunjukkan sisi ksatria (tidak pernah menyentuh Shinta secara paksa selama tiga tahun) dan harga diri sebagai pemimpin negara yang wajib mempertahankan kedaulatan dari invasi Ayodya yang dipimpin Sri Rama. Begitu pula Kumbakarna, yang meskipun sadar perang tersebut salah, ia maju membela negaranya, Alengka, dari kehancuran. Mereka menanggung garis takdir sebagai “antagonis” yang harus dihancurkan, namun motivasi terdalamnya mengandung unsur patriotisme terdistorsi yang relevan untuk direfleksikan. Lasmini, dalam pandangan masyarakat, adalah “antagonis” moral; anggota Pasukan Moestopo adalah “antagonis” hukum. Namun, dalam konteks perjuangan kemerdekaan, mereka adalah penjaga kedaulatan yang memilih jalan berliku.

Kesimpulan Ilmiah

Indonesia memang gudangnya pejuang yang “ber-cosplay” Robin Hood. Perjuangan kemerdekaan bukan hanya milik elit politik atau laskar ideal yang berjuang di bawah panji kemuliaan. Sejarah lokal menunjukkan adanya strategi subversif patriotik yang memanfaatkan mereka yang terbuang—para anti-hero—untuk mencapai tujuan nasional.

Hal ini menuntut kita, dalam refleksi Hari Pahlawan, untuk memperluas definisi kepahlawanan. Kepahlawanan juga milik mereka yang berjuang di garis senyap, menanggung stigma, dan mewujudkan patriotisme dengan cara yang berbeda, namun terbukti krusial dalam menjamin berlanjutnya eksistensi Republik Indonesia. Mereka mengajarkan kita bahwa integritas sejati sering kali diuji bukan oleh apa yang terlihat terang, melainkan oleh apa yang dilakukan dalam kegelapan demi kedaulatan bangsa.

 

 

Daftar Referensi

  • Andoko, Gati. (2019). Lasmini: Ronggeng Lebakbarang [Dalam konteks kajian historisisme,
  • Ensiklopedia Pahlawan Nasional. (Merujuk pada biografi resmi Dr. Moestopo, 2007). Keputusan Presiden Nomor 66/2007 TK.
  • Kajian Sejarah Lokal. (Merujuk pada catatan sejarah Perang Kemerdekaan di Karesidenan Pekalongan, Agresi Militer Belanda I, 1947).
  • Sumber Biografi Dr. Moestopo. (Merujuk pada kegiatan reklasering dan pembentukan pasukan Terate/Tentara Rahasia Tinggi).
  • Ahmad Junaidi, Jiko Vindhy Megawianto, M. Lutfi Dwi Kurniawan. “Jihad Seorang Pelacur: Kajian Historisisme terhadap Cerpen ‘Lasmini: Ronggeng Lebakbarang’”. Jurnal Bébasan, Vol. 10 No. 2 (2023).
  • “Kegilaan dan Aksi Nyentrik Moestopo Demi Republik”. Tirto.id, 28 Sept 2019. tirto.id
  • “Pasukan Terate”. Djokja1945 blog (‘Barisan Gundul’ etc). Djokjakarta 1945
  • Harapan Rakyat. “Karesidenan Pekalongan Zaman Revolusi, Pemerintahan Darurat…” 16 Apr 2023.
  • Sejarah Singkat Kota Pekalongan. pekalongankota.go.id.

 

Penulis adalah seorang dosen di UMPP Pekalongan

Terkait
Seleksi kades memihak bakal calon dari kalangan birokrat

Kabupaten Pekalongan kembali akan memasuki musim Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Sebagai payung hukum, Pilkades serentak tahun ini tetap memakai Peraturan Read more

Mengusung pemimpin warga, perlukah?

Pertarungan dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Pekalongan 2020, diperkirakan dipenuhi dengan 3L, alias Lu lagi, Lu lagi, Lu Read more

Ironi Batik Pekalongan: Produk asli yang dibenci masyarakat Pekalongan sendiri

Oleh: Muhammad Arsyad, mahasiswa  IAIN Pekalongan Menjamurnya industri batik pekalongan, membuat derasnya limbah yang terbuang ke sungai. Alhasil, sungai di Read more

Janji Bupati bukan janji Joni dalam cerita komedi

Penulis : Cholis Setiawan Pilkades telah usai, tetapi masih menyisakan persoalan yang cukup pelik dan berpotensi kisruh jelang pelantikan, hal Read more

Wartawan Warta Desa dilarang menerima suap atau sogokan dalam bentuk apapun, termasuk uang, barang, atau fasilitas, yang dapat mempengaruhi independensi pemberitaan. Jika menemukan hal tersebut, mohon difoto dan dilaporkan kepada redaksi dan pihak kepolisian

Tags : hari pahlawanrobin hood