Warta Desa, Kajen. – Kasus iuran peringatan Hari Guru Nasional (HGN) di Kabupaten Pekalongan, dengan nominal yang berbeda berdasarkan status kepegawaian, merupakan contoh klasik dari isu yang sering berulang di berbagai daerah di Indonesia. Masalah ini tidak hanya menyoroti aspek finansial, tetapi juga menyingkap persoalan mendasar dalam tata kelola organisasi profesi guru dan transparansi di lingkungan dinas pendidikan.
Pola yang muncul dalam laporan seperti yang dipublikasikan oleh Wartadesa menunjukkan karakteristik pungutan yang sistematis:
Skema Berjenjang: Adanya perbedaan nominal (Rp25.000 untuk honorer, Rp50.000 sertifikasi, Rp75.000 inpassing) menunjukkan upaya penyesuaian kemampuan bayar, namun tetap bersifat wajib secara de facto. Ini menekan guru honorer yang penghasilannya minim.
Basis Kegiatan Tahunan: Iuran selalu dikaitkan dengan acara seremonial tahunan seperti HGN atau seminar, menjadikannya pungutan yang terstruktur dan terencana.
Saluran Organisasi: Pengumpulan dana seringkali difasilitasi melalui struktur organisasi, baik itu Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), atau unit pelaksana dinas pendidikan setempat.
Meskipun seringkali diklaim sebagai “dana sukarela,” dalam praktiknya pungutan dari atasan (Dinas Pendidikan/Kepala Sekolah) kepada bawahan (guru) sulit dianggap sukarela. Hal ini berpotensi melanggar sejumlah regulasi, termasuk potensi pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah yang melarang pungutan wajib, meskipun konteksnya adalah guru, prinsip transparansi tetap berlaku.
Tidak adanya dasar hukum yang jelas atau payung hukum resmi untuk pungutan tersebut menjadikannya abu-abu. Pihak penyelenggara (Dinas atau PGRI) biasanya tidak mengeluarkan surat edaran resmi yang bisa dipertanggungjawabkan di muka hukum.
Aspek etis paling krusial adalah membebani guru honorer. Di tengah perjuangan mendapatkan kesejahteraan dan status kepegawaian yang layak, pungutan wajib, sekecil apapun nominalnya, sangat memberatkan dan tidak etis.
Minimnya Pengawasan Internal: Kurangnya pengawasan ketat dari Inspektorat Daerah atau Dinas Pendidikan setempat membuat praktik ini terus berlangsung.
Ketiadaan Transparansi: Tidak adanya laporan pertanggungjawaban yang jelas dan mudah diakses publik mengenai penggunaan dana HGN, membuka celah untuk penyalahgunaan.
Kultur “Sungkan”: Adanya relasi kuasa antara atasan dan bawahan menciptakan kultur “sungkan” di kalangan guru untuk menolak atau melapor, takut akan dampak administratif atau non-administratif pada karier mereka.
Lemahnya Suara Kolektif: Meskipun banyak yang mengeluh di media sosial, minimnya keberanian untuk melaporkan secara resmi ke pihak berwenang membuat kasus ini sering menguap setelah menjadi viral sesaat.
Dampak dari pungutan ini adalah demotivasi bagi para pendidik, terutama guru honorer, serta rusaknya citra organisasi profesi guru dan birokrasi pendidikan.
Solusi yang diperlukan:
Dinas Pendidikan dan PGRI wajib mengedepankan transparansi dan komunikasi terbuka. Jika ada biaya, harus dijelaskan peruntukannya dan bersifat sukarela murni.
Optimalisasi Dana APBD/APBN: Seharusnya, kegiatan seremonial HGN dapat dibiayai dari anggaran pemerintah daerah atau sumber dana sah lainnya yang tidak membebani guru secara langsung.
Saluran Pengaduan yang Aman: Perlu disediakan saluran pengaduan yang aman dan rahasia bagi guru yang merasa keberatan, misalnya melalui LAPOR! atau posko pengaduan di Kementerian Pendidikan.
Penindakan Tegas: Aparat penegak hukum dan pemerintah daerah perlu menindak tegas oknum yang terbukti melakukan pungutan liar berkedok iuran sukarela.
Kasus di Pekalongan adalah alarm bagi pemerintah daerah untuk memastikan bahwa perayaan dan kegiatan pendidikan tidak menjadi ajang pungli yang membebani pahlawan tanpa tanda jasa.
Analisis Pola Berulang di Kabupaten Pekalongan
Kegiatan “Wajib” Berbayar: Pungutan seringkali disamarkan sebagai iuran untuk kegiatan yang dianggap penting (HGN, seminar, workshop) tetapi bersifat wajib bagi peserta (guru).
Ketidakjelasan Anggaran: Minimnya transparansi mengenai sumber pendanaan alternatif (APBD/APBN) untuk acara-acara tersebut membuka celah pembebanan biaya kepada guru.
Relasi Kuasa dan Kultur “Sungkan”: Guru, terutama honorer, sering tidak berdaya menolak permintaan dari atasan atau organisasi yang terafiliasi dengan dinas, karena takut akan konsekuensi karier.
Respons Birokrasi yang Sama: Ketika kasus mencuat ke publik, respons standar dari dinas terkait seringkali adalah “belum menerima surat resmi” atau “akan ditindaklanjuti”, tanpa solusi konkret yang menghentikan pola tersebut di masa mendatang.
Kasus iuran HGN berjenjang adalah bukti terbaru bahwa mekanisme pengawasan internal belum efektif mencegah praktik pungutan yang membebani tenaga pendidik di Kabupaten Pekalongan. (Rohadi)










