Pemalang, Wartadesa. – Sampah menjadi permasalahan bagi sebagian besar diberbagai wilayah, padahal sampah bisa menjadi potensi menuju kemandirian pangan dan energi. Tentunya dengan mengolah sampah menjadi pupuk dan gas.
Solusi permasalahan sampah tersebut ditawarkan oleh tim Bioreaktor Kapal Selam (BKS) kepada dua desa di Kota Ikhlas, yakni Desa Kandang Kecamatan Comal dan Desa Botekan Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, Senin (11/01) pekan lalu, dengan menggelar sosialisasi penganganan sampah desa dengan visi kemandirian pangan dan energi desa.
Acara yang diinisiasi oleh kepala desa ini mendapat respon sangat baik dari lembaga desa seperti BPD, LMPD, PKK, Karang Taruna dan tokoh masyarakat. Meski demikian, butuh kebersamaan dan kesepahaman antar lembaga desa untuk mewujudkan desa mandiri. Kepala desa tidak bisa sendirian, dukungan masyarakat dan kelembagaan desa harus bersama-sama, bersatu, guyub dan sengkuyung mewujudkan hal tersebut.
Embrio penyediaan energi desa dan sumber pangan, tahap awal digagas di dua desa di Kabupaten Pemalang. Menurut Imam Nurhuda, pria yang akrab disapa Kang Hoed, salah seorang penggiat BKS, sosialisasi di Desa Kandang, Comal bertujuan untuk membangun dukungan warga dan komponen pemerintah desa, yang sejak awal sudah memiliki niat dan keinginan untuk menjadikan konsep BKS sebagai solusi problematika sampah di desanya.
Imam Nurhuda menyebut, masalah sampah Desa Kandang tergolong klasik, ‘kekemprohan‘ warga berpadu dengan manajemen sampah desa yang buruk, menjadikan problem sampah berada di seluruh Desa.
“Terdapat pasar desa dengan 150 pedagang. TPS (tempat pembuangan sampah sementara) saat ini berfungsi sebagai TPA (tempat pembuangan sampah akhir), terletak di bantaran Sungai Comal seluas 15 x 20 meter dengan Bak Sampah Ukuran 10 x 5 meter dibagi dalam dua kompartemen. Satu kompartemen untuk memilah sampah dan satu kompartemen digunakan sebagai lokasi membakar sampah. Sisa sampah yang tidak terbakar didorong secara manual masuk kedalam Sungai Comal.” Jelas Imam merinci permasalahan sampah di Desa Bodas, hasil sosialisasi kemarin.

Estimasi Jumlah rumah 1.200 rumah, komposisi sampah 85% organik dan 15% non organik dengan dominasi kantong plastik dan botol kemasan minuman berbagai merek. Rinci Kang Hoed melanjutkan.
Dalam sosialisasi terungkap bahwa seluruh stake holder (pemangku kepentingan), sepakat sampah di Desa Kandang sudah menjadi problem krusial selama lebih sepuluh tahun, tidak ada langkah komprehensif yang pernah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Selain langkah tradisional dengan menumpuk sampah di TPS/TPA. Manajemen pengolahan sampah dilakukan dengan membakar sampah dan membuang Sampah ke Kali Comal.
Stake holder, pamong Desa, mendesak agar Solusi BKS di implementasikan pada tahun anggaran 2021. Namun Kepala Desa tidak mempunyai pandangan dana pendukung. Dana yang akan dipergunakan adalah Dana Desa dan direncanakan akan dianggarkan dalam tahun anggaran 2022, melalui Bumdes. Terang Imam.
Limbah Konveksi jadi Masalah Utama Desa
Permasalahan yang sama ditemukan saat sosialisasi de Desa Botekan, Kecamatan Ulujami, Pemalang. Imam mengatakan, Desa tersebut memiliki problem khusus untuk sampah non organik (sampah yang tidak bisa diolah secara langsung) yang mendominasi 95% komposisi sampah desa.
Sampah non organik berupa limbah industri rumahan konveksi berupa kain perca berbagai jenis dengan ukuran 2cm – 5cm x 10cm – 15 cm. Penanganan saat ini, menurut Imam, Bumdes membentuk tim khusus terdiri dari sembilan pemuda desa, menggunakan kendaraan Tosa untuk mengambil sampah konveksi dari rumah warga yang menjadi anggota Kelompok Sampah. Terdapat 635 rumah yang seluruhnya menjalankan industri rumahan konveksi.
Manajemen pengolahan sampah dilakukan dengan cara menumpuk di sebuah TPA berukuran 10 x 20 meter kemudian membakar sampah setelah dipilah/ diambil berbagai jenis plastik dan karet yang bisa dijual kembali. Pembakaran sampah dilakukan dalam sebuah tungku bakar dengan berbahan bakar kain perca.

“Saat Tim BKS melakukan sosialisasi, kondisi tungku bakar sudah rusak (tungkunya amblas), tungku kemudian dimanfaatkan sebagai gudang sampah pilahan berjenis kardus dan plastik.” Tutur Kang Hoed.
Dalam sosialisasi di Desa Botekan, lanjut Imam, terungkap bahwa tidak seluruh warga bergabung dalam pengelolaan sampah, “dari sekitar 1.300 rumah di desa Botekan, yang bergabung dalam manajemen sampah sebanyak 635 rumah.” Lanjutnya.
Bergabungnya pemilik industri rumahan konveksi dalam keanggotaan kelompok sampah lantaran kebingungan membuang sampah industri rumahan mereka, berupa kain perca.
Kondisi TPA sampah Desa Botekan sangat memperihatinkan, berlokasi di tengah sampah dengan tumpukan sampah kain perca setinggi sekitar 200 cm dan secara terus menerus dibakar. Pada musim penghujan dan bila dilanda banjir maka sampah sampah tersebut hanyut, menjadi Polusi bagi sawah di sekitarnya dan juga meresahkan masyarakat karena lokasi TPA berhimpit dengan lokasi Pemakaman umum Desa.
Sosialisasi di Desa Botekan berjalan alot, penuh curhat dan bertemperamen tinggi lantaran dari pihak Kepala Desa dan Manajemen Bumdes, tidak ada inisiatif berkait BKS. Tidak ada niat untuk menempatkan Dana Desa untuk solusi sampah. (Bono)