Wartadesa, Kendal, – Bencana kekeringan yang terjadi di Desa Curugsewu sudah mengetuk pintu berbagai pihak, salah satunya dari Komisi D DPRD Jateng. Intervensi yang di tujukan ke Dinas ESDM Jateng, oleh Komisi D memunculkan satu kegiatan Sosialisasi Mitigasi Bencana Kekeringan di Desa Curugsewu Kecamatan Patean, Kendal.
Hadir sebagai Narasumber . Agus Azis, ST.M.Si Seksi Geologi, Mineral, dan Batubara lalu dari Komisi D DPRD Jateng H. Benny Karnadi, S.Ag dan Danie Budi Tjahyono. Acara yang dilaksanakan Rabu, 30 Agustus 2023 tersebut juga mengundang tokoh masyarakat dusun terdampak dan beberapa pemerhati lingkungan di daerah Kendal Selatan.
Sendang yang sebagian masyarakat kenal adalah sebagai tempat air, tapi tidak dengan dusun di Curugsewu ini. “Baru tahun ini dusun Sendang mengalami kekeringan, kalau dusun Robyong memang setiap tahun lengganan” ujar Bp. Kaeri selaku Kades Curugsewu. Sampai saat ini kebutuhan air bersih di Sendang dan Robyong mengandalkan kiriman dari BPBD Kendal, jelas tidak selamanya mengandalkan hal tersebut, perlu ada langkah kongkrit untuk menghindari kondisi serupa di masa depan. Masih satu dukuhan dengan Robyong, warga di Regeng juga mengeluhkan hal serupa sehingga ada tiga Dusun yang terdampak saat ini.
Degradasi lahan yang terjadi di sebagian besar wilayah Kendal juga harus mulai diperhatikan pemerintah daerah. Penuturan beberapa warga bahwa saat ini banyak mata air yang mati di sekitar Curugsewu, tentunya bukan suatu kebetulan. Dulu banyak terdapat pohon-pohon besar dan sekarang pohon-pohon tersebut perlahan mulai hilang ini bisa jadi satu perhatian untuk kita semua. Fungsi pohon sebagai penyimpan cadangan air perlu kita kembalikan lagi, meskipun butuh waktu puluhan tahun tetapi itu wajib dilakukan.
Air terjun Curugsewu yang merupakan Ikon Wisata Kabupaten Kendal ketika musim kemarau juga terlihat menurun debitnya. Masih satu aliran dengan Sungai Blukar yang di daerah hulunya sekarang mengalami penurunan fungsi, yaitu fungsi resapan karena banyak lahan gundul yang diakibatkan kegiatan perambahan hutan maupun aktifitas perusakan lain yang tidak terkendali.
Keresahan masyarakat sementara ini terjawab oleh bantuan dari Pemprov Jateng berupa sumur bor, yang nantinya akan di buat di Dusun Sendang dan Dusun Regeng. Namun, untuk Dusun sendang masih akan dimusyawarahkan lagi karena ada pro dan kontra. Sedangkan di Dusun Regeng, proyek tersebut tidak mendapat hambatan dan bisa segera dilaksanakan.
Apakah Sumur Bor satu-satunya solusi? Tentu tidak, masyarakat harus memikirkan juga dampak negatif jangka panjang proyek tersebut. Selain rusaknya permukaan tanah, dampak yang paling berbahaya dari penggunaan sumur bor yaitu adanya rongga di bawah tanah yang terjadi karena eksploitasi air tanah berlebih. Rongga ini tercipta akibat berkurangnya air tanah lebih cepat dari pengisian kembali. Maka dari itu perlu diimbangi dengan kegiatan lain yang bisa menambah debit air yang terserap ke tanah.
Jika dalam jumlah sedikit mungkin tidak terasa dampaknya namun, ketika itu dibuat dalam jumlah yang banyak maka akan menjadi masalah dikemudian hari. Rongga di bawah tanah tersebut menyebabkan tekanan tanah menjadi tidak seimbang, karena cadangan air yang berguna untuk menyeimbangkan kontur tanah habis di eksploitasi, akibatnya terjadi longsor dan bergesernya batuan yang menyanggah tanah sehingga terjadi amblas. Amblasnya permukaan tanah membuat ketinggian tanah menjadi semakin rendah, jika ketinggian tanah semakin rendah, dampak yang akan terjadi yaitu seringnya banjir di tempat-tempat tertentu.
Pada daerah dataran rendah, dampak yang paling parah dari eksploitasi air tanah besar-besaran yaitu air laut yang lebih tinggi dari permukaan, karena ketinggian tanah yang terus menurun akibat tidak adanya air tanah sebagai penyeimbang. Kota-kota besar di pesisir utara Jawa sudah menjadi contoh dampak eksploitasi air tanah, akibatnya beberapa daerah di Pantura “tenggelam” oleh air laut yang lebih tinggi dari tanah selain itu, minimnya daerah resapan air juga mempercepat “tenggelamnya” sebagian Pesisir Pantura. (Andi Gunawan)