Belum lama ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Pekalongan mendeklarasika desa pecontohan “Desa Tanpa Politik Uang” dalam wujud Desa Pengawasan Pemilu, dengan tujuan bahwa desa percontohan, yakni Desa Sangkanjoyo, Sabarwangi, dan Kelurahan Kajen, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan berkontribusi terhadap gerakan anti pokitik uang pada Pemilukada 2020.
Menurut Ahmad Dzul Fahmi, Ketua Bawaslu, desa pengawasan pemilu merupakan kontribusi warga terhadap pengawasan partisipatif warga dan gerakan anti politik uang. Namun, bisakah kita ‘benar-benar’ menolak adanya politik uang? Harus kita sadari bahwa ada dua arus utama pendapat warga terkait pemilu, pemilukada maupun pilkades. Yakni, kapan lagi akan terima duit kalau bukan saat musim kampanye dan pemilihan, dan disisi lain adalah ajakan tolak poktik uang dengan jargon terima uangnya dan jangan coblos/pilih orangnya. Dan, faktanya di Pekalongan lebih banyak warga memilih jargon “ora ono duit ora nyoblos” alias tak ada uang tak akan dipilih.
Sistem demokrasi Indonesia yang menetapkan pemilihan langsung berupa One Man One Vote, memang dianggap sebagai metode terbaik dalam pelaksanaan demokrasi dewasa ini. Pemilihan langsung jelas mempunyai keunggulan fairness dan egalitarian. Namun One Man One Vote dalam pemilu sebagai praktik esensial dan pragmatis dalam demokrasi, katakanlah pada kualitas pemilu yang amat jurdil sekalipun, ternyata masih memiliki cacat sosial yang bisa mengarah pada keruntuhan sosial. Penggiringan massa dalam upaya mencari dukungan dalam pemilukada maupun pilkades tentu saja rawan terjadinya politik uang.
Secara umum bisa dikatakan bahwa proses demokrasi amat rawan praktik money politic dan power politic, yakni permainan uang dan represi kekuasaan oleh mereka yang sedang menikmati kekuasaanya. Kedua praktik sosial itu sering dilakukan oleh kelompok sosial yang materialistik, tidak berakhlak, dan penguasa korup, gila kekuasaan sehingga rakyat makin tidak berdaya.
Idealnya, proses demokrasi harus dijalankan dengan kendali ketat agar rakyat memilih pemimpin yang memang baik kualitasnya sehingga dihasilkan pemimpin yang mempunyai integritas dan moralitas yang tinggi. Hal ini tentu memerlukan instrumen yang mengatur tentang pelaksanaan demokrasi dan komitmen dari seluruh pihak agar proses demokrasi tidak dinodai dengan praktik-praktik curang, politik uang, represi kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan dan fungsi kontrol yang kuat.
Namun ketika pragmatisme warga lebih kuat, dibumbui dengan permainan politik meraih kekuasaan dengan berbagai cara. Ada celah yang bisa dilakukan warga, meski dengan usaha dan kerja keras warga. Yakni sila lakukan politik uang tapi warga terus awasi setelah mereka terpilih.
Setiap warga berhak untuk melakukan pengawasan terhadap badan atau lembaga publik. Lembaga publik dimaksud sesuai dengan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yakni setiap lembaga yang menerima dana/anggaran dari masyarakat dan atau APBN maupun APBD, dimana pemimpin lembaga publik tersebut (baca kades, bupati, walikota, anggota dewan, dll) berada.
UU KIP jelas mengatur bahwa setiap lembaga publik wajib menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). PPID inilah yang kemudian bertugas mengelola data dan informasi yang dikuasai oleh badan publik, meliputi pendataan, pengumpulan, pendokumentasian hingga pengarsipan. Selain pengelolaan, PPID juga bertanggungjawab untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Ada dua cara menyampaikan informasi, yaitu pertama dengan cara mengumumkan melalui media yang mudah dijangkau, dan kedua dengan cara memberikannya kepada masyarakat yang melakukan permintaan informasi. Jadi, selain secara proaktif menyampaikan informasi dalam bentuk pengumuman, PPID juga harus memberikan informasi kepada setiap orang yang menyampaikan permintaan informasi kepada badan publik.
Dengan demikian, tidak ada lagi celah pejabat publik, termasuk kepala dan perangkat desa hingga jajaran tingkat diatasnya untuk melakukan pratik-praktik korupsi. Dengan syarat butuh kerelawanan warga dan effort yang kuat untuk mengawal keterbukaan informasi publik. (Buono)